PENGERTIAN
DAN LANDASAN HUKUM PENAGIHAN PAJAK
A. Penagihan Pasif dan Penagihan Aktif
Dengan adanya sistem self assessment , telah
diberikan kepercayaan penuh kepada masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung,
memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Tetapi dalam
kenyataannya, terdapat cukup banyak masyarakat yang dengan sengaja atau dengan
berbagai alasan tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya sesuai ketetapan
pajak yang diterbitkan sehingga terjadi tunggakan pajak. Penagihan pajak dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu penagihan aktif dan penagihan pasif.
1.
Penagihan
Pasif
Penagihan pasif dilakukan melalui Surat Tagihan
Pajak atau Surat Ketetapan Pajak. Sebagaimana dijelaskan dalam UU No.28 Tahun
2007 Pasal 9 Ayat (3), Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak tanggal diterbitkan. Dan pada pasal 9 ayat (3a) dijelaskan Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak
di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak dilunasi
maka akan dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga 2% perbulan, dan bagian bulan dihitung penuh satu bulan,
sebagaimana disebutkan dalam UU KUP Pasal 19 ayat (1), Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak
yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau
kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk seluruh masa,
yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau
tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan. Selain dengan penagihan pasif, dapat pula dilanjutkan
dengan penagihan aktif atau yang lebih dikenal dengan Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa.
2. Penagihan Aktif
Penagihan pajak aktif
atau penagihan pajak dengan Surat Paksa dilakukan diatur dalam Undang-Undang
No.19 tahun 1997 sebagaimana yang telah di ubah dengan Undang-Undang No.19
tahun 2000. Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak
pasif, dimana dalam upaya penagihan ini Fiskus berperan aktif dalam arti tidak
hanya mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak, tetapi akan diikuti
dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
Dalam pembahasan
berikutnya yang dimaksud penagihan pajak adalah penagihan aktif atau penagihan
pajak dengan Surat Paksa.
B.
Pengertian
Penagihan Pajak
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 angka 9 UU No.
19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 19 Tahun 2000, Penagihan
Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak
dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang
yang telah disita.
Sedangkan Utang
Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa
bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau
surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(pasal 1 angka 8 UU No.19 Tahun 2000)
C. Dasar Penagihan Pajak
Adapun dasar penagihan pajak sebagaimana dijelaskan
dalam UU KUP pasal 20 ayat (1) yaitu :
·
STP
·
SKPKB
·
SKPKBT
·
SK Pembetulan
·
SK Keberatan
·
Putusan Banding
·
Putusan PK
Yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) dan (3a) UU KUP.
Sedangkan untuk Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dasar
penagihan pajak adalah sebagai berikut:
·
Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan (STPPBB)
·
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKPKB),
·
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
·
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan(STB)
·
Surat Keputusan Pembetulan,
·
Surat Keputusan Keberatan,
·
Putusan Banding
·
Putusan Peninjauan Kembali,
Yang menyebabkan jumlah Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan yang harus dibayar bertambah, kurang ayau tidak dilunasi dalam
jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterima oleh Wajib Pajak.
D. Pengertiaan Wajib Pajak dan
penanggung Pajak
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU KUP Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Selanjutnya, UU KUP mencantumkan pengertian badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PPSP Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau
badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan
Termasuk "wakil" yang menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban Wajib Pajak. Dijelaskan dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP
yaitu sebagai berikut :
(1) Dalam menjalankan hak dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan, Wajib Pajak
diwakili dalam hal :
a. badan oleh pengurus;
b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang
atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh
likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi
oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
atau
f. anak yang belum dewasa atau orang
yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
(2) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran
pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur
Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk
dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
E. Landasan Hukum Penagihan Pajak
Landasan hukum
penagihan pajak dengan surat paksa adalah
·
Pasal 20 – 24 UU Nomor 28 Tahun 2007
Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
·
UU Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa
1.
Latar
Belakang Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu
terus ditingkatkan sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan
kemampuan sendiri berdasarkan prinsip kemandirian. Peningkatan kesadaran
masyarakat di bidang perpajakan harus ditunjang dengan iklim yang mendukung
peningkatan peran aktif masyarakat serta pemahaman akan hak dan kewajibannya
dalam melaksanakan peraturan perundangundangan perpajakan.
Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan.
Namun, dalam kenyataannya masih dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat
tidak dilunasinya utang pajak sebagaimana mestinya.
Perkembangan jumlah tunggakan pajak dari waktu ke
waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar. Peningkatan jumlah tunggakan pajak
ini masih belum dapat diimbangi dengan kegiatan pencairannya, namun demikian
secara umum penerimaan di bidang pajak semakin meningkat. Terhadap tunggakan
pajak dimaksud perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai
kekuatan hukum yang memaksa. Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak
merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak. Dengan demikian
pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak
sangat perlu mendapatkan perhatian. Sebagaimana dikemukakan di atas, di dalam
sistem self assessment yang berlaku sekarang ini maka penagihan pajak yang
dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan merupakan wujud law
enforcement untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi
Wajib Pajak.
Tindakan penagihan pajak yang selama ini
dilaksanakan adalah berdasarkan pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dengan undang-undang penagihan pajak yang
demikian itu diharapkan dapat memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan
antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan
kepentingan dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah
pihak yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil, serasi, dan selaras
dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian
hukum.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian Indonesia
saat ini dan didukung dengan semangat reformasi, perlu kiranya dilakukan
pembaharuan undang-undang penagihan pajak, dengan dilandasi pokok-pokok pikiran
sebagai berikut :
1. Memperhatikan
ketentuan perundang-undangan lain, seperti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
2. Menegakkan
keadilan;
3. Memberikan
perlindungan hukum, baik kepada Penanggung Pajak maupun pihak ketiga berupa hak
untuk mengajukan gugatan; dan Melaksanakan law enforcement secara konsisten
dengan berdasar pada jadwal waktu penagihan yang telah ditentukan.
Beberapa pokok perubahan yang menjadi perhatian
dalam pembaharuan undangundang penagihan pajak ini adalah sebagai berikut:
1. Mempertegas
proses pelaksanaan penagihan pajak dengan menambahkan ketentuan penerbitan
Surat Teguran, Surat Peringatan dan surat lain yang sejenis sebelum Surat Paksa
dilaksanakan;
2. Mempertegas
jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif;
3. Mempertegas
pengertian Penanggung Pajak yang meliputi juga komisaris, pemegang saham,
pemilik modal;
4. Menaikkan
nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan dalam rangka menjaga
kelangsungan usaha Penanggung Pajak;
5. Menambah
jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari lelang;
6. Mempertegas
besarnya biaya penagihan pajak, yang didasarkan atas prosentase tertentu dari
hasil penjualan;
7. Mempertegas
bahwa pengajuan keberatan atau permohonan banding oleh Wajib Pajak tidak
menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak;
8. Memberi
kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara memberi batasan nilai barang yang
diumumkan tidak melalui media massa dalam rangka efisiensi;
9. Memperjelas
hak Penanggung Pajak untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan nama baik dalam
hal gugatannya dikabulkan; dan
10. Mempertegas
pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah, menghalang-halangi
atau menggagalkan pelaksanaan penagihan pajak.
2.
Peraturan
Pelaksana Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
Berikut ini adalah peraturan pelaksana UU Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa:
a. Umum
1) KMK
Nomor 562/KMK.04/2000 Tentang Syarat-Syarat, Tata Cara Pengangkatan Dan
Pemberhentian Jurusita Pajak
b. Surat
Paksa dan Sita
1) PP
No.135 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak
Dengan Surat Paksa
2) PMK
Nomor 23/PMK.03/2006 tentang perubahan atas KMK Nomor 85/KMK.03/2002 Tentang
Tata Cara Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang Dalam Rangka
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
3) PMK
Nomor 24/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat
Paksa Dan Pelaksanaan Penagihan Seketika
Dan Sekaligus
4) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 459/PJ./2002 Tentang Tata Cara Penyitaan
Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan
Surat Paksa
5) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 08/PJ.75/2000 Tentang Tata Cara
Penerbitan Ulang Surat Teguran, Penerbitan Surat Paksa Pengganti, Dan
Pembetulan Atau Penggantian Surat-Surat Dalam Rangka Pelaksanaan Penagihan
Pajak
c. Lelang
1)
PP Nomor 136 Tahun 2000 Tentang Tata
Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang
Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
d. Pencegahan
dan Penyanderaan
1)
PP Nomor 137 Tahun 2000 Tentang Tempat
Dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, Dan
Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
2)
Keputusan Bersama Menteri Keuangan
Republik Indonesia Dan Menteri Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor 294/KMK.03/2003, M-02.Um.09.01 Tahun 2003 Tentang Tata Cara
Penitipan Penanggung Pajak Yang Disandera Di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
3)
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Kep - 218/PJ/2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan Dan Pemberian
Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak Yang Disandera
4)
Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S -
158/PJ.75/2006 Tentang Permintaan Usulan
Pencegahan WP/PP Bepergian Ke Luar Negeri
5)
Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
Nomor S-240/PJ.04/2009 Tentang Penyanderaan Atas Penanggung Pajak Dalam Rangka
Penagihan Pajak
6)
Surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
Nomor S-43/PJ.045/2007 Tentang Tata Cara Permintaan Pencegahan, Perpanjangan,
Dan Pencabutan Bepergian Ke Luar Negeri
e. Pemblokiran
1) KMK
Nomor 563/KMK.04/2000 Tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta kekayaan Penanggung
Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
2) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 109/PJ./2007 Tentang Perubahan Atas
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang
Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
3) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 627/PJ Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada
Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
4) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 05/PJ.04 Tentang Pengantar Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-109/PJ/2007 Tentang Perubahan Atas Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-627/PJ/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada
Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
5) Peraturan
Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian
Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank
6) Surat
Bank Indonesia Nomor 8/3/DGS/DPNP Perihal Pemblokiran Dalam Rangka Penagihan
Pajak
7) Surat
Bank Indonesia Nomor 2/35/DpG/DHk/ Tahun 2000 Perihal Penyitaan Terhadap
Kekayaan Penanggung Pajak Yang Disimpan di Bank
8) Surat
Bank Indonesia Nomor 7/9/GBI/DHk/ Tahun 2005 Perihal Evaluasi Pelaksanaan
Pemblokiran Dan Penyitaan Rekening Bank
9) Surat
Bank Indonesia Nomor 7/6/Dhk Tahun 2005 Perihal Penjelasan Bank Berkenaan
Dengan Perintah Membuka Rahasia Bank Untuk Kepentingan Perpajakan
f. Angsuran
dan Penundaan
1) Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 80/PMK.03/2010 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 Tentang Penentuan Tanggal
Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak,
Dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak, Serta Tata Cara
Pengangsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak
2) Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 Tentang Penentuan
Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat
Pembayaran Pajak, Dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak,
Serta Tata Cara Pengangsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak
3) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 38/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pemberian
Angsuran Atau Penundaan Pembayaran PajakDirektur Jenderal Pajak
4) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 14/PJ.33/1998 Tentang Pembatalan SK
Pemberian Angsuran Atau Penundaan Pembayaran Pajak Bagi Wajib Pajak Yang
Mengajukan Keberatan/Banding
g. Penghapusan
1) Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 565/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Dan
Penetapan Besarnya Penghapusan
2) Keputusan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 539/KMK.03/2002 Tentang Perubahan
Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 565/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak Dan Penetapan Besarnya Penghapusan
3) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 625/PJ./2001 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak
Dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Pajak
4) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 15/PJ./2004
Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak Dan Penetapan Besarnya
Penghapusan Piutang Pajak
h. Kebijakan
Penagihan
1) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE
- 08/PJ.75/2002 Tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak (Delinquency
Audit)
2) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE
- 05/PJ.04/2008 Tentang Kebijakan Penagihan Pajak
3) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 03/PJ.04/2009 Tentang Kebijakan Penagihan
Pajak
4) Kesepakatan
Bersama Direktorat Jenderal Pajak dan Kepolisian Republik Indonesia Nomor
Kep-24/PJ./2004 Dan No.Pol: B/146/I/2004 Tanggal 23 Januari 2004 Tentang
Penegakan Hukum di Bidang Perpajakan
5) Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor 08/PJ/2009 Tentang Pedoman Akuntansi Piutang
Pajak
i.
Penagihan PBB/BPHTB
1) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 503/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penerbitan
Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Tata Cara Pelaksanaan Penagihan
Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
2) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 45/PJ.6/1996 Tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penghapusan Piutang Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Penetapan Besarnya Penghapusan
3) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 13/PJ.6/1999 Tentang Perubahan Sebagian
Atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-45/PJ.6/1996 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penghapusan Piutang Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Penetapan Besarnya
Penghap
4) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 02/PJ.6/2001 Tentang Usulan
Penghapusan Piutang PBB
5) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE
- 48/PJ.6/2000 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak PBB Dan Tata
Cara Pelaksanaan Penagihan PBB Dan BPHTB
6) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 48/PJ/2008 Tentang Batas Waktu
Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi
Dan Bangunan, Dan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Serta Daluwarsa
Penagihan Pajak Bumi Dan Bangunan
7) Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE
- 73/PJ/2008 Tentang Kebijakan Perubahan Data SIP/SIPMOD/SISMIOP
j.
Formulir dan Surat dalam Pelaksanaan
Penagihan
1) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 474/PJ./2002 Tentang Perubahan Atas
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-645/PJ./2001 Tentang Bentuk, Jenis,
Dan Kode Kartu, Formulir, Surat, Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Keputusan Direktur Jenderal Pajak
2) Lampiran
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 474/PJ./2002 Tentang Perubahan
Atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-645/PJ./2001 Tentang Bentuk,
Jenis, Dan Kode Kartu, Formulir, Surat, Dan Buku Yang Digunakan Dalam
Pelaksanaan Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Keputusan Direktur Jenderal
Pajak
3) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-645/PJ./2001 Tentang Bentuk, Jenis, Dan Kode
Kartu, Formulir, Surat, Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa Keputusan Direktur Jenderal Pajak
4) Lampiran
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-645/PJ./2001 Tentang Bentuk, Jenis,
Dan Kode Kartu, Formulir, Surat, Dan Buku Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Keputusan Direktur Jenderal Pajak
5) Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-15/PJ./2004 Tentang Tata Cara Penghapusan
Piutang Pajak Dan Besarnya Penghapusan
6) Lampiran
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-15/PJ./2004 Tentang Tata Cara
Penghapusan Piutang Pajak Dan Besarnya Penghapusan
DAFTAR PUSTAKA
·
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
·
Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum
Dan Tata Cara Perpajakan
·
Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan.2009.Peraturan
dan Kebijakan di Bidang Penagihan.Jakarta:Subdit Penagihan
·
Zulvina,Susi.2011. Bahan Ajar Pengantar Hukum Pajak,Tangerang Selatan:STAN
·
Zuraida,Ida.2010.Bahan Ajar Penagihan dan Sengketa Pajak.Tangerang Selatan:STAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar