A. Keberatan Pajak Bumi Dan
Bangunan (PBB)
Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB) adalah jenis pajak yang paling
dikenal oleh setiap lapisan masyarakat dari pelosok desa sampai ke kota besar,
hampir semua orang tahu apa itu PBB dan sebagaimana halnya Pajak Penghasilan
(PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dalam PBB terdapat pula ketentuan yang
mengatur perihal pengajuan keberatan PBB, pengurangan PBB, dan
pengurangan sanksi PBB dan BPHTB.
Ketentuan perundangan-undangan perpajakan Pajak Bumi dan
Bangunan menggunakan undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, terpisah dari ketentuan UU KUP
kecuali hal-hal yang tidak diatur dalam UU PBB maka ketentuan formal akan
mengikuti ketentuan dalam UU KUP. Pasal 23 UU PBB berbunyi : “Terhadap hal-hal
yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan
dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta
peraturan perundang-undangan lainnya”.Keberatan PBB
Ketentuan yang mengatur keberatan PBB adalah Pasal 15 Ayat
(1) UU PBB yang berbunyi sebagai berikut :
“Wajib
Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas :
- Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang;
- Surat Ketetapan Pajak.”
Pengajuan keberatan atas SPPT dapat dilakukan secara
kolektif melalui kelurahan atau secara perseorangan. Pengajuan secara kolektif
hanya berlaku untuk nilai SPPT sampai dengan Rp 200.000,00 per SPPT. Pengajuan
keberatan atas SKP PBB hanya boleh dilakukan secara perseorangan. Sebagai
tambahan yang dimaksud SKP PBB adalah SKP PBB sebagaimana dimaksudkan pasal 10
Ayat (2) UU PBB sebagai berikut :
“Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan
Pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
- apabila Surat Pemberitahuan
Obyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
dan setelah ditegor secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana
ditentukan dalam Surat Tegoran;
- apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah yang terhutang lebih
besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan
Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.”
Pasal 9 Ayat (2) menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan Obyek
Pajak (SPOP) harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani
ke DJP, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
diterimanya SPOP oleh subyek pajak.
- Persyaratan
Formal Pengajuan Keberatan PBB
Persyaratan pengajuan keberatan PBB terdiri dari persyaratan
formal dan persyaratan pendukung. Persyaratan formal terdiri dari persyaratan
untuk pengajuan perseorangan dan persyaratan untuk pengajuan kolektif.
Persyaratan formal diatur dalam Pasal 15 UU PBB dan Pasal 4 Ayat (1), ayat (2)
dan Ayat (4) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-25/PJ/2009 Tentang
Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi Dan Bangunan, sbb :
“Pengajuan Keberatan secara perseorangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) harus memenuhi persyaratan :
- Satu surat Keberatan untuk 1
(satu) SPPT atau SKP PBB;
- Diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia;
- Diajukan kepada Direktur
Jenderal Pajak dan disampaikan ke KPP Pratama;
- Dilampiri asli SPPT atau SKP
PBB yang diajukan Keberatan;
- Dikemukakan jumlah PBB yang
terutang menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang
mendukung pengajuan Keberatannya;
- Diajukan dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP PBB,
kecuali apabila Wajib Pajak atau kuasanya dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaannya; dan
- Surat Keberatan ditandatangani
oleh Wajib Pajak, dan dalam hal surat Keberatan ditandatangani oleh bukan
Wajib Pajak:
- harus
dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, untuk Wajib Pajak orang pribadi
dengan PBB yang terutang lebih banyak dari Rp 2.000.000,00 (dua juta
rupiah) atau Wajib Pajak badan;atau
- harus
dilampiri dengan surat kuasa, untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan PBB
yang terutang paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah)”.
Ayat (2) memuat persyaratan keberatan untuk pengajuan
keberatan PBB secara kolektif sbb. :
“Pengajuan
Keberatan secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a
harus memenuhi persyaratan ;
- Satu pengajuan untuk beberapa
SPPT Tahun Pajak yang sama;
- Diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia;
- PBB yang terutang untuk setiap
SPPT paling banyak Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah);
- Diajukan kepada Direktur
Jenderal Pajak dan disampaikan ke KPP Pratama;
- Diajukan melalui Kepala
Desa/Lurah setempat;
- Dilampiri asli SPPT yang
diajukan Keberatan;
- Mengemukakan jumlah PBB yang
terutang menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang
mendukung pengajuan Keberatannya; dan
- Diajukan dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT, kecuali apabila Wajib Pajak
melalui Kepala Desa/Lurah setempat dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya”.
- Persyaratan
pendukung keberatan PBB
“Untuk memperkuat
alasan pengajuan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan ayat
(2) huruf g, pengajuan Keberatan disertai dengan :
- Fotokopi identitas Wajib Pajak,
dan fotokopi identitas kuasa Wajib Pajak dalam hal dikuasakan;
- Fotokopi bukti kepemilikan
tanah;
- Fotokopi Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB); dan/atau
- Fotokopi bukti pendukung
lainnya”.
Apabila berkas pengajuan keberatan PBB tidak memenuhi
persyaratan formal, maka pengajuan keberatan tersebut tidak dapat
dipertimbangkan dan akan diberitahukan ke Subjek Pajak/ke lurah secara tertulis
melalui surat dalam waktu 10 hari kerja sejak diterima surat pengajuan
keberatan. Apabila jangka wakut 3 bulan masih terpenuhi subjek pajak dapat
memperbaiki dan mengajukan kembali keberatan PBB kepada Kantor Pelayanan Pajak
atau ke KP2KP.
- Materi
Keberatan PBB
Materi keberatan yang menjadi sengketa adalah diatur
dalam angka Romawi II angka 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE – 32/PJ/2009 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor 25/PJ/2009 Tentang Tata Cara Pengajuan Dan Penyelesaian Keberatan
Pajak Bumi Dan Bangunan, sbb :
“Keberatan
dapat diajukan dalam hal :
- Wajib Pajak berpendapat bahwa
luas objek pajak bumi dan/atau bangunan atau nilai jual objek pajak bumi
dan/atau bangunan tidak sebagaimana mestinya; dan/atau
- terdapat perbedaan penafsiran
peraturan perundang-undangan PBB”.
SK Keberatan PBB dapat berupa menerima seluruhnya atau
sebagian, menolak, atau menambah jumlah PBB terutang. Berdasarkan SK Keberatan
PBB, Kantor Pelayanan Pajak akan menerbitkan SPPT yang baru atau SKP PBB yang
baru dengan tidak merubah tanggal jatuh tempo pembayaran PBB. SPPT PBB yang
baru tersebut tidak dapat diajukan keberatan kembali, tetapi dapat diajukan
pengurangan PBB dengan memenuhi persyaratan pengurangan PBB atau dapat juga
diajukan banding ke Pengadilan Pajak. Pengajuan keberatan PBB dan pengajuan
banding PBB tidak menunda tindakan penagihan PBB. Sebagai tambahan lagi,
ketentuan banding PBB diatur dalam pasal 17 UU PBB sbb. :
- Wajib pajak dapat mengajukan
banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6)
dan Pasal 16 ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal
diterimanya surat keputusan oleh wajib pajak dengan dilampiri salinan
surat keputusan tersebut.
- Permohonan banding diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
- Pengajuan permohonan banding
tidak menunda kewajiban membayar pajak.
jangka
waktu penyelesaian keberatan PBB adalah 12 bulan sejak tanggal keberatan
diterima.
- Arestasi
Penanganan Keberatan PBB dan Penelitian Objek PBB
Subjek Pajak PBB dapat mengajukan keberatan PBB melalui
Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP), selanjutnya penanganan keberatan PBB untuk nilai SPPT/SKP
PBB sampai dengan Rp 1,5 Milyar dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP tempat
kedudukan Objek Pajak berada , dan untuk nilai SPPT/SKP PBB diatas Rp.1,5
Milyar dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penanganan keberatan PBB untuk nilai keberatan tertentu
yaitu dengan nilai SPPT/SKP PBB diatas Rp. 5.000.000,00-, diperlukan penelitian
lapangan oleh Kantor Wilayah dan/atau oleh KPP setempat tergantung lokasi dari
Objek Pajak.
0 komentar:
Posting Komentar