Kamis, 15 Desember 2011

cerpen "sombong"


SOMBONG !!!

Bapak Handoko adalah seorang pengusaha besar yang sukses. Ia adalah direktur utama salah satu swalayan di daerah Cirebon yang amat ramai dikunjungi orang. Suatu hari ia membutuhkan seorang pegawai baru. Oleh karena itu, Bapak Handoko memasang iklan lowongan pekerjaan di berbagai surat kabar.
Beberapa hari setelah pemasangan iklan itu, para pelamar datang berbondong-bondong. Mereka antri memanjang di depan kantor Bapak Handoko sejak pagi-pagi sekali. Dalam antrian itu, tampak dua orang pemuda berdiri berdekatan. Mereka berdua tampak terpelajar dan berpendidikan. Seorang pemuda memakai jas yang mahal dengan rapi dan yang seorang lagi hanya memakai kemeja biru dengan rapi.
“Huh, panas sekali disini! Apa tidak ada AC seperti di rumahku?” keluh pemuda berjas mahal itu. Ia bermaksud mengelap keringat yang bercucuran di dahinya. Namun, ia lupa  membawa tisu. Pemuda yang memakai kemeja biru mengetahui hal ini. Ia pun hendak meminjamkan sapu tangannya. Tapi tawarannya malah ditolak. Dia berkata dengan sombongnya “Oh, tidak perlu, terima kasih. Saya tidak terbiasa memakai sapu tangan. Di sini panas sekali, ya?” kata pemuda berjas sambil mengelap dahi dengan tangannya.

“Siapa namamu ?” Tanya pemuda berjas dengan nada sinis. “O, ya, nama saya Ahmad. Ahmad Mujahidin.” kata  pemuda kedua sambil tersenyum ramah dan mengulurkan tangannya. “kalau anda ?” Balas Ahmad. “Nama saya Raden . Raden Sumanto Mangkulangit.” jawab pemuda berjas menyambut jabat tangan Ahmad. “Saudara lulusan darimana?” tanya Raden. “Saya lulusan Unswagati jurusan pendidikan Bahasa Indonesia. Baru lulus tiga bulan yang lalu. Anda sendiri darimana?” balas Ahmad dengan sopan.
Raden berdehem sambil merapikan jasnya. “Saya Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia. Raden Sumanto Mangkulangit, S.E. Sebenarnya saya sudah bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta selama dua tahun. Akan tetapi, saya tidak betah dan minta keluar. Pekerjaan saya di sana tidak menantang. Membosankan!” jawab Dani tersenyum.
“O, ya, Anda seorang Sarjana Bahasa. Mengapa tidak menjadi penulis, editor, sastrawan atau guru ? Mengapa melamar pekerjaan di swalayan ini? Padahal, kebanyakan pelamar di sini minimal Sarjana Ekonomi atau Administrasi. Lagipula, apakah anda mempunyai pengalaman di bidang ini?” tanya Raden. “Anda benar. Saya memang belum punya pengalaman. Akan tetapi, bagaimana ya, saya harus meringankan beban keluarga dan saya berharap inilah kesempatan saya untuk bias bekerja” jawab Ahmad terus terang. Raden manggut-manggut. Sinar matahari kian panas. Namun antrian tak kunjung putus. Raden berkali-kali mengeluh.
“Saya tak sabar lagi kalau begini. Kang Ahmad, saya permisi!” ujarnya bergegas. Ahmad heran. “Anda mau kemana? Sekarang belum giliran kita!” Raden hanya tersenyum. Ia mendesak maju dan menyerobot tempat orang lain. Para pelamar yang lain memaki dan mengumpat. Dasar Raden muka tembok. Ia tetap maju. Beberapa saat kemudian, ia sudah berdiri paling depan.

“Hey, curang!” kata seorang pelamar. “Dasar tak tahu malu!” kata pelamar yang lain. Percuma saja semua makian itu. Dani melangkah memasuki ruang wawancara dengan penuh kemenangan. Setiap pelamar harus diwawancarai terlebih dahulu oleh Bapak Handoko dan Staff - Staffnya. Raden melangkah masuk walaupun belum dipersilakan masuk ke ruang wawancara. Ia membiarkan pintu tak tertutup. Raden tampak percaya diri. Ia sengaja membiarkan pintu terbuka agar para pelamar yang lain tahu kehebatan dirinya saat diwawancarai.
Bapak Handoko mengerutkan dahinya. Ia melirik pintu yang tak tertutup. Sekilas tampak olehnya sepatu Dani yang kotor. Rupanya Dani tidak membersihkan sepatunya di keset di depan pintu. Bapak Handoko menghela nafas. Dalam hatinya dia berkata “ Orang mana sih dia, sudah bau, jorok, tak tahu malu, sombong lagi. “ Ia sudah tidak berminat untuk mewawancarai Raden.
“Bagaimana, Pak? Apakah saya diterima?” tanya Raden dengan mantap. Dia tampak seperti manusia yang tidak punya salah dan dosa. “Sebaiknya Saudara tunggu saja pengumumannya,” jawab Bapak Handoko sambil memberi isyarat supaya Raden keluar.
 Akhirnya, tibalah giliran Ahmad. Sebelum masuk ke ruang wawancara, Ahmad berdoa terlebih dahulu. Dengan tenang ia mengetuk pintu. Setelah dipersilakan, barulah ia masuk. “Assalamua’laikum, Selamat siang, Pak!” sapa Ahmad dengan sopan. Bapak Handoko tersenyum dan mempersilakan Ahmad untuk duduk.
“Maaf Pak, perkenankan saya memperkenalkan diri saya. Nama saya Ahmad Mujahidin. Pendidikan terakhir Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia. Saya tidak mempunyai pengalaman kerja. Namun, saya bersedia bekerja keras di bawah pimpinan Bapak. Ini surat lamaran pekerjaan saya pak !”
Bapak Handoko tersenyum. Ia terkesan dengan sopan santun Ahmad. Bapak Handoko yakin, inilah orang yang dibutuhkannya. Ya,walaupun  tidak nyambung dengan pendidikan terakhirnya dan tidak punya pengalaman kerja, tapi Beliau yakin Ahmad adalah orang yang jujur dan dapat dipercaya.
 Beberapa hari kemudian, Bapak Handoko mengumumkan pelamar yang diterima. Ahmadlah yang diterima bekerja di swalayan milik Bapak Handoko. Sebaliknya, Raden yang mendambakan pekerjaan itu malah tidak diterima. Ia tidak puas dan mendatangi Bapak Handoko
“Ini jelas tidak adil, Pak! Bapak sebagai pimpinan seharusnya mencari pegawai yang berpengalaman dan berkualitas seperti saya. Mengapa saya yang sarjana ekonomi dan berpengalaman kerja tidak diterima? Mengapa Ahmad yang Bapak terima? Apasih kelebihannya?” protes Raden di depan Bapak Handoko. Persis seperti Kera yang tidak pernah bercermin.
“Saudara Dani, saya adalah pengusaha yang berpengalaman. Saya lebih tahu daripada Anda. Saya tahu persis calon pegawai yang saya butuhkan. Nah, Saudara Ahmad mempunyai kriteria itu. Sejak pertama kali ia masuk, saya sudah terkesan. Ia mengetuk dan menutup pintu dengan hati-hati. Ia membersihkan sepatu di keset dan memberi salam dengan hormat. Selain itu, Ahmad menjawab semua pertanyaan dari saya dengan terperinci, namun tidak berlebihan. Dari situlah saya mengetahui bahwa ia adalah orang yang sopan, rapi, dan cermat dalam bekerja. Yang terpenting bagi saya adalah akhlak, bukan gelar, harta, jabatan atau hal duniawi lainnya. Paham !“ Bapak Handoko menjawab dengan tegas. Raden seperti telah disambar petir. Beliau melanjutkan jawabanya “Lalu sekarang Anda bertanya, mengapa Anda tidak diterima bekerja di swalayan saya? Anda sudah dewasa tentu Anda sudah tahu jawabnya,” Bapak Handoko mengutarakan alasannya.  
Raden hanya termenung,  ia telah menyesali kesombongannya selama ini. Ia menganggap dirinya yang paling hebat diantara pelamar lainnya, sehingga ia sangat yakin akan diterima untuk bekerja di swalayan Bapak Handoko.

0 komentar:

Posting Komentar