SUBJEK
PAJAK YANG BUKAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pajak Pertambahan Nilai
dikenakan kepada siapapun yang
melakukan :
1.
Impor Barang Kena Pajak (Pasal 4 ayat
(1) huruf b)
2.
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat (1) huruf
d)
3.
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat (1) huruf e)
4.
Kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan
dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 16C)
Untuk lebih jelasnya,
setiap poin akan dijelaskan satu per satu berikut ini:
1. Impor Barang Kena Pajak (Pasal 4
ayat (1) huruf b)
Berdasarkan pasal 1
angka 9 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa Impor
adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke adalam
Daerah Pabean. Pasal 4 ayat (1)
huruf b ini tidak menentukan status orang pribadi atau badan yang melakukan
kegiatan impor, maka impor BKP yang
dilakukan oleh siapapun dikenakan PPN.
Dalam hal impor Barang
Kena Pajak juga dikenal ada dua jenis kegiatan, yaitu :
a)
Kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak
dari luar daerah Pabean yang langsung dilakukan
oleh dan untuk kepentingan importir yang bersangkutan. Sebagai objek PPN adalah kegiatan impor Barang Kena Pajak.
b)
Kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak
yang dilakukan oleh importir untuk kepentingan
pihak lain selaku indentor. Kegiatan ini dinamakan impor inden. Sama halnya dengan handling export,
sebagai objek pajaknya disamping
kegiatan impor tersebut juga
penyerahan jasa keagenan yang dilakukan oleh Importir.
Saat
terutang pajak untuk impor BKP adalah ketika Barang Kena Pajak masuk ke dalam
Daerah Pabean. Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan (
yang merupakan Objek Pajak ) tersebut akan dikenakan terhadap pengimpornya.
Jadi Pajak Pertambahan Nilai akan ditanggung oleh importir Barang Kena Pajak
dan atau Jasa Kena Pajak tersebut. Importir akan menyetorkan dan melaporkan
Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak tersebut
kepada Negara. Importir akan melaporkan kegiatan tersebut yang merupakan Objek
Pajak setiap bulannya ke Direktorat Jenderal Pajak. Pemungutan atas kegiatan
yang merupakan Objek Pajak yang dilakukan dari luar Daerah Pabean akan dipungut
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dalam Pasal 3A UU PPN ditetapkan bahwa Pengusaha
yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a,
huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Dalam
ketentuang ini tidak disebut pengusaha yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf b, yaitu yang mengimpor Barang Kena Pajak. Oleh karena itu, maka
pengusaha yang mengimpor Barang Kena Pajak tidak diwajibkan untuk melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, karena kegiatan impor
ini tidak harus dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya dan importir bukan Pengusaha Kena Pajak. Siapapun,
dengan nama dan bentu apapun dapat mengimpor Barang Kena Pajak, dan dibebani
kewajiban membayar PPN/ PPnBM yang terutang.
Importir adalah orang atau badang yang memasukkan
barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean. Dalam PMK No. 124/ PMK. 04/ 20007, Importir
adalah orang perseorangan atau badan hokum pemilik Angka Pengenal Importir (
API ) atau Angka Pengenal Importir Terbatas
( APIT ) yang mengimpor barang. Mengapa importir dikenakan Pajak
Pertambahan Nilai adalah karena kegiatan yang dilakukan oleh importir tersebut
merupakan kegiatan yang termasuk kegiatan yang menjadi Objek Pajak Pertambahan
Nilai seperti yang tertulis dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b,d, dan e Undang – Undang PPN.
Dari hal – hal diatas dapat disimpulkan bahwa
sebagai subjek Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan impor Barang Kena Pajak
adalah orang atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak, yaitu memasukkan
Barang Kena Pajak dari luar ke dalam Daerah Pabean. Jadi tidak disyaratkan
bahwa yang melakukan impor harus importir.
2. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat (1) huruf
d)
BKP tidak berwujud
dapat berupa hak menggunakan merek dagang, hak cipta, dan lain-lain, sama
halnya dengan impor BKP, Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPN 1984 tidak menyebut
status orang pribadi atau badan yang melakukan keguatan ini, sehingga siapa pun dengan status apa pun
melakukan kegiatan ini dikenakan PPN. Contoh PT Pizza Indonesia memanfaatkan
BKP tidak berwujud berupa hak menggunakan merek “PIZZA HUT” dari Itali.
Pemanfaatan ini dilakukan di dalam daerah pabean, maka atas kegiatan ini
dikenakan PPN.
Mekanisme Pengenaan PPN
Meknisme pengenaan PPN
atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean diataur dengan PMK Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara
Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari
Luar Daerah Pabean.
Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak
tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, wajib untuk :
|
-
|
Memungut
PPN yang terutang (dari dirinya sendiri).
|
|
-
|
Menyetor
PPN yang terutang selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya (setelah
bulan pemanfaatan).
|
|
-
|
Melaporkan
ke KPP dimana terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (setelah
bulan pemanfaatan).
|
Tata Cara Penyetoran :
|
-
|
Penyetoran
dilakukan dengan SSP (Surat Setoran Pajak) ke bank persepsi/kantor pos.
|
|
-
|
Kolom
identitas Wajib Pajak diisi nama Pengusaha di luar Daerah Pabean.
|
|
-
|
Kolom
NPWP diisi dengan angka 0 pada 8 digit pertama, diikuti kode KPP dimana
terdaftar pada tiga digit berikutnya.
|
|
-
|
Kolom
tanda tangan diisi oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak
berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut.
|
Tata Cara Pelaporan :
|
-
|
Dalam
hal pihak yang memanfaatkan tersebut berstatus Pengusaha Kena Pajak,
pelaporannya menggunakan SPT Masa PPN Masa Pajak yang bersangkutan sebagai
pajak Masukan Dalam Negeri (Formulir 1195-B1).
|
|
-
|
Dalam
hal pihak yang memanfaatkan tersebut tidak berstatus Pengusaha Kena Pajak,
pelaporannya dengan SSP (Surat Setoran Pajak) lembar ke-3.
|
Saat mulai pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan
Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean ditentukan dari peristiwa hukum di
bawah ini (mana yang terjadi lebih dahulu) :
|
a.
|
Saat secara nyata BKP tidak
berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut digunakan
|
|
b.
|
Saat harga perolehannya dinyatakan
sebagai utang
|
|
c.
|
Saat harga jual atau penggantian
ditagih oleh pihak yang menyerahkan
|
|
d.
|
Saat harga perolehan dibayar
sebagian atau seluruhnya
|
|
e.
|
Saat ditandatangani surat
perjanjian dalam hal saat pada poin a sampai dengan d tidak
diketahui
|
Tata
Cara Pengisian SSP untuk membayar PPN yang terhutang atas BKP Tidak Berwujud
dan JKP dari Luar Daerah Pabean (SE - 08/PJ.5/1995 Jo 568/KMK.04/2000)
|
1.
|
Nama
KPP diisi dengan KPP tempat Wajib Pajak DN yang memanfaatkan BKP Tidak
Berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean terdaftar
|
|
|
2.
|
NPWP
diisi dengan angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama dan kode Kantor
Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud atau JKP pada
3 (tiga) digit berikutnya dan angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.
contoh : 00.000.000.0-019.000
|
|
|
3.
|
Nama
WP dan Alamat diisi dengan nama dan alamat orang pribadi atau badan yang
bertempat tinggal atau berkedudukan diluar Daerah Pabean yang menyerahkan BKP
Tidak Berwujud atau JKP ke dalam Daerah Pabean
|
|
|
4.
|
MAP/Kode
jenis pajak diisi angka 0131
|
|
|
5.
|
Kode
Jenis Setoran diisi :
|
|
|
|
a.
|
101
: untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud
|
|
|
b.
|
102
: untuk pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean
|
|
6.
|
Uraian
Pembayaran diisi penjelasan nama BKP Tidak Berwujud dan JKP dari Luar Daerah
Pabean
|
|
|
7.
|
Masa
Pajak diisi dengan masa terhutangnya PPN atas BKP Tidak Berwujud dan
JKP dari Luar Daerah Pabean
|
|
|
8.
|
Tahun
Pajak diisi dengan Tahun terhutangnya PPN atas BKP Tidak Berwujud
dan JKP dari Luar Daerah Pabean
|
|
|
9.
|
Jumlah
Pembayaran diisi dengan jumlah PPN terhutang
|
|
|
10.
|
Terbilang
diisi dengan jumlah PPN terhutang dalam angka.
|
|
|
11.
|
Tempat
diisi dengan kota/kabupaten tempat Wajib Pajak DN yang memanfaatkan BKP Tidak
Berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean
|
|
|
12.
|
Tanggal
diisi dengan Tanggal dibayarnya PPN terhutang
|
|
|
13.
|
Wajib
Pajak/Penyetor diisi dengan nama dan NPWP pihak yang memanfaatkan BKPTidak
Berwujud atau JKP.
|
Penggunaan
Metode Qq Pada Faktur Pajak Standar Faktur Pajak Dan Nota Retur Berdasarkan Se - 09/Pj.531/2000 Penggunaan Metode Qq Pada Faktur
Pajak Standar:
1.
|
Penggunaan
Metode QQ Pada Faktur Pajak Standar biasanya dilatarbelakangi oleh keadaan :
|
|
|
a.
|
Sub
Kontraktor adalah PKP yang secara fisik melakukan penyerahan BKP/JKP kepada
pemilik proyek sebagai Pemungut PPN dan PPnBM, yang karena suatu
kondisi/kebijakan tertentu, sub kontraktor tidak dapat menandatangani kontrak
penyerahan BKP/JKP secara langsung dengan pemilik proyek.
|
|
b.
|
Kontraktor
Utama adalah PKP yang secara langsung menandatangani kontrak dengan pemilik
proyek sebagai Pemungut PPN dan PPn BM, yang karena tidak memiliki suatu
sarana yang memadai untuk melaksanakan isi kontrak, maka untuk melaksanakan
isi kontrak tersebut, kontraktor utama mengikat kontrak/perjanjian kepada sub
kontraktor untuk melaksanakannya. Sehingga dalam hal ini kontraktor utama
tidak melaksanakan kegiatan secara fisik isi kontrak namun hanya bertindak
sebagai perantara/agen. Dengan demikian penyerahan/kegiatan secara fisik yang
dilakukannya adalah penyerahan jasa keagenan.
|
|
c.
|
Pemilik
Proyek adalah Badan Pemungut, yang secara fisik melakukan perolehan BKP atau
melakukan pemanfaatan JKP dari sub kontraktor yang karena suatu
kondisi/kebijakan tertentu tidak dapat menandatangani kontrak perolehan
BKP/pemanfaatan JKP secara langsung dengan sub kontraktor.
|
2.
|
Pada
dasarnya penggunaan metode qq pada Faktur Pajak Standar tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, namun untuk lebih memberikan kemudahan dan
pelayanan yang baik kepada Pengusaha Kena Pajak maka penggunaan metode qq
pada Faktur Pajak Standar dapat dimungkinkan sepanjang Pengusaha Kena Pajak
memiliki itikad baik dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan fiskus
tidak mengalami kesulitan dalam melaksanakan fungsi pengawasannya.
|
|
3.
|
Adapun
penggunaan metode qq pada Faktur Pajak Standar kolom "Pembeli
BKP/Penerima JKP" pada ilustrasi di atas adalah sebagai berikut :
|
|
|
a.
|
Faktur
Pajak Keluaran diterbitkan oleh Sub Kontraktor, pada kolom "Pembeli
BKP/Penerima JKP" agar dicantumkan "Nama Kontraktor Utama qq Nama
Pemilik Proyek". Alamat dan NPWP pada Faktur Pajak dicantumkan Nama dan
Alamat Pemilik Proyek. Asli lembar kesatu Faktur Pajak tersebut hanya untuk
Pemilik Proyek, sehingga dengan demikian yang berhak mengkreditkan Pajak Masukannya
adalah Pemilik Proyek.
|
|
b.
|
PPN
dipungut dan disetor oleh Pemilik Proyek selaku Badan Pemungut untuk dan atas
nama Sub Kontraktor. Pada Surat Setoran Pajak (SSP), dicantumkan "Nama
Kontraktor Utama qq Nama Sub Kontraktor". Alamat dan NPWP dicantumkan
Alamat dan NPWP Sub Kontraktor. Sedangkan NPWP Kontraktor Utama dicantumkan
di bawah kotak NPWP. Kolom KPP pada sudut kiri atas SSP dicantumkan KPP
tempat Sub Kontraktor terdaftar/dikukuhkan. SSP lembar kesatu hanya untuk Sub
Kontraktor.
|
|
c.
|
Kontraktor
Utama selaku agen tidak berhak mengkreditkan atau meminta restitusi atas PPN
yang dipungut oleh Pemilik Proyek selaku pemungut PPN untuk dan atas nama Sub
Kontraktor. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Kontraktor Utama selaku
agen hanya yang berhubungan langsung dengan jasa keagenan.
|
|
d.
|
Kontraktor
Utama selaku agen wajib memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan
jasa keagenan sebesar 10% dari komisi yang diterima, dan menyetorkan serta
melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku (mekanisme biasa).
|
3. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat (1) huruf e)
Jasa kena pajak adalah
jasa sebagaimana dimaksudkan pasal 1 angka 5 UU PPN 1984 yang dikenakan pajak
berdasarkan UU PPN 1984, Pasal 1 angka 5 berbunyi sebagai berikut : Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang
berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang
atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa
yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan
bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pemanfaatan jasa kena pajak
dari luar daerah pabean yang akan wajib dikenakan PPN adalah sebagaimana
dimaksudkan Pasal 1 angka 8 UU PPN 1984 yaitu :“Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap
kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean”
Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean agar
dapat dikenakan PPN harus memenuhi syarat prinsip destinasi, yaitu
dikenakan PPN ditempat dimana jasa tersebut dapat dinikmati/dirasakan
manfaatnya, prinsip destinasi ini secara eksplisit tercantum pada bunyi pasal 4
huruf e berikut penjelasannya, Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Pasal 11 huruf d
UU PPN 1984.
Adapun yang dimaksudkan daerah pabean berdasarkan UU PPN
adalah sebagaimana dimaksudkan Pasal 1 angka 1 sebagai berikut : “Daerah Pabean adalah wilayah Republik
Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang
di dalamnya berlaku Undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan”
Jenis JKP dari Luar
Daerah Pabean :
a. Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang melekat pada barang tidak bergerak di
dalam Daerah Pabean, misalnya maket bangunan di Indonesia yang dibuat oleh
Pengusaha di Singapura.
b. Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang melekat pada barang bergerak yang
dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean, misalnya sewa mesin dari Jepang untuk
digunakan di Indonesia.
c. Jasa
Kena Pajak yang secara fisik dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha
dari luar Daerah Pabean, misalnya pemberian jasa konsultasi manajemen yang
dilakukan oleh konsultan Amerika kepada wajib pajak di Indonesia. Jika jasa
tersebut secara fisik dilakukan di Indonesia dan dimanfaatkan di luar negeri,
maka atas penyerahannya tidak terutang PPN.
Siapapun yang
memanfatkan jasa kena pajak dari luar daerah pabean tersebut, baik itu Wajib
Pajak badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi, baik itu telah dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak ataupun belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, hal
ini sesuai dengan ketentuan dalam penjelasan Pasal 4 huruf e UU PPN 1984 yaitu
: “Jasa yang berasal dari luar Daerah
Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak “C” di Surabaya
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha “B” yang berkedudukan di Singapura.
Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai”
Saat terutang PPN jasa kena pajak dari luar daerah pabean adalah
berkaitan dengan saat pemanfaatan jasa tersebut dan tidak berkaitan dengan saat
penyerahan jasa tersebut. Saat terutang PPN dinyatakan dalam Pasal 11 Ayat (1)
huruf d dan huruf e UU PPN 1984.
Saat terutang PPN dinyatakan secara lebih jelas dalam
Penjelasan Pasal 11 huruf d UU PPN sbb : “Dalam
hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, maka terutangnya pajak
terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang
Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean.
Hal ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak
tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean, sehingga
tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat
pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan
dengan saat pemanfaatan.”
Saat dimulai
pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean adalah saat yang
diketahui terjadi terlebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :
a. saat
Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut secara nyata
digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
b. saat
harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak
tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
c. saat
harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa Kena
Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
d. saat
harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak
tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya;
e. saat
ditandatangani kontrak atau perjanjian pemberian jasa.
Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 40/KMK.04/2010 tentang
Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan
Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan Atau Jasa Kena
Pajak Dari Luar Daerah Pabean
Tarif pengenaan PPN adalah 10 % dari jumlah yang dibayarkan
atau sesuai dengan kontrak, apabila dalam nilai kontrak sudah termasuk PPN maka
pajak dihitung 10/110 kali jumlah yang dibayarkan atau yang seharusnya
dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan jasa kena pajak tersebut.
Pajak yang dipungut
harus disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
setelah bulan terjadinya pemungutan dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada masa
yang sama dengan bulan penyetoran, SPT Masa PPN tersebut diperlakukan sebagai
laporan pemungutan PPN atas pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean.
Dalam kasus orang pribadi atau badan yang bukan PKP maka
perlakuannya adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) KMK Nomor :
568/KMK.04/2000 sebagai berikut :
“Bagi orang pribadi atau badan yang bukan
Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan pemungutan dan penyetoran Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1)
dengan mempergunakan lembar ketiga bukti setoran Pajak ke Kas Negara paling
lambat pada tanggal 20 bulan penyetoran ke Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
tersebut.”
4. Kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan
dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 16C)
Definisi PPN kegiatan membangun
sendiri (PPN KMS) adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain (NOMOR 39/PMK.03/2010).
Berdasarkan memori penjelasan UU PPN disebutkan dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai KMS adalah dengan pertimbangan sebagai berikut :
- sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
- untuk memberikan perlakuan yang
sama dan untuk memenuhi rasa keadilan antara pihak yang membeli bangunan
dari Pengusaha Real Estate atau yang menyerahkan pembangunan gedung kepada
pemborong dengan pihak yang membangun sendiri;
Dasar hukum pemungutan PPN KMS adalah sebagai berikut:
- Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2009;
- Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri;
- Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-27/PJ/2010 tentang Tata Cara
Pengisian Surat Setoran Pajak, Pelaporan, dan Pengawasan Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.
Objek Pajak PPN KMS adalah Kegiatan
Membangun Sendiri.
Kegiatan Membangun Sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan
tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang
hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Bangunan dimaksud adalah
satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap
pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
- konstruksi utamanya
terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau
baja;
- diperuntukkan bagi tempat
tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
- luas keseluruhan paling sedikit
300 m2 (tiga ratus meter persegi).
(Syarat
ini bersifat kumulatif, artinya semua harus terpenuhi, jika salah satu kriteria
tidak terpenuhi menjadi tidak terutang PPN KMS)
Subjek Pajak PPN KMS sebagaimana sebenarnya sudah
disebutkan di atas yaitu orang pribadi atau badan. Secara materil, PPN KMS
dapat dipelajari sebagaimana skema di bawah ini:
Tarif
dan Dasar Pengenaan Pajak
- Kegiatan membangun sendiri
dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari Dasar Pengenaan
Pajak.
- Dasar pengenaan pajak atas
kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan
atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
- Termasuk pengertian seluruh
biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga
jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan bahan dan jasa
untuk kegiatan membangun bangunan tersebut.
Saat
dan tempat pajak terutang
- Saat terutang PPN KMS adalah
saat dimulainya secara fisik kegiatan membangun sendiri.
- Kegiatan membangun sendiri yang
dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan
sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari
2 tahun.
- Tempat terutang atas kegiatan
membangun sendiri adalah di tempat bangunan didirikan.
Penyetoran
dan pelaporan
Hal penting dalam sistem perpajakan kita di Indonesia
tercinta adalah menganut self assesment artinya Wajib Pajak menghitung
pajaknya sendiri, menyetor ke kas negara dan melaporkan ke kantor pajak
dilakukan sendiri tanpa menunggu ketetapan dari kantor pajak. Kemudian
bagaimana mekanisme pembayaran dan pelaporan PPN KMS, berikut paparannya.
- PPN KMS terutang sebesar 10% x
40% x jumlah biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan pada setiap bulannya,
dan harus disetorkan ke kas negara dengan kode MAP 411211 (PPN Dalam
Negeri) dan KJS 103 (Setoran Kegiatan Membangun Sendiri) paling lama
tanggal 15 bulan berikutnya.
- Orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan membangun sendiri, wajib melaporkan pada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan
tersebut berada.
Contoh
Kasus.
Si Fulan membangun rumah seluas 400 m2 selesai dalam 3
bulan. Biaya pembangunan selama 3 bulan tersebut adalah: April 2010 : Rp
150.000.000 Mei : Rp 200.000.000 Juni : Rp 175.000.000 Maka PPN yang harus
dibayar atas serangkaian kegiatan tersebut adalah sebagai berikut;
- Atas biaya yang dikeluarkan
selama bulan April 2010 adalah sebesar Rp 150.000.000 X 4% = Rp
6.000.000, harus dibayar paling lambat tgl 15 Mei 2010 dan
dilaporkan paling lambat akhir bulan Mei 2010.
- Atas biaya yang dikeluarkan
selama bulan Mei 2010 adalah sebesar Rp 200.000.000 X 4% = Rp8.000.000,-
harus dibayar paling lambat tgl 15 Juni 2010 dan dilaporkan paling lambat
akhir bulan Juni 2010.
- Atas biaya yang dikeluarkan
selama bulan Juni 2010 adalah sebesar Rp 175.000.000 X 4% = Rp
7.000.000,- harus dibayar paling lambat tgl 15 Juli 2010 dan
dilaporkan paling lambat akhir bulan Juli 2010.
0 komentar:
Posting Komentar